Opini - Wawan Sujarwo, CNBC Indonesia
Saninten (Castanopsis argentea) dan Tungurut (Castanopsis tungurrut) atau biasa dijuluki rambutan hutan adalah jenis tumbuhan dengan status IUCN Endangered (EN) atau terancam punah. Kedua jenis tumbuhan tersebut merupakan contoh dari puluhan atau bahkan ratusan jenis tumbuhan terancam kepunahan yang ada di Indonesia. IUCN menyatakan bahwa kedua spesies mengalami penurunan populasi yang tinggi, yaitu sebesar 50% untuk Saninten dan 30% untuk Tungurut pada tiga dekade terakhir. Tak heran jika Saninten menjadi spesies langka yang juga dilindungi oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 92 Tahun 2018.
Saninten dan Tungurut merupakan spesies yang memiliki pola regenerasi alami yang cukup lama. Kedua species hanya dapat berbuah sebanyak satu kali dalam setahun yaitu pada musim kemarau. Pun jika berbuah setiap tahun biasanya bijinya tidak selalu bagus, terkadang busuk atau kopong, bahkan selama lima tahun terakhir (2018-2023), pohon Saninten dan Tungurut di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak misalnya diduga enggan berbuah, hal tersebut dikarenakan tidak hadirnya kemarau panjang.
Saninten dan Tungurut memiliki biji dengan citarasa yang enak sehingga sering dijadikan camilan oleh warga yang umumnya tinggal di sekitar kawasan hutan. Tak heran, jika hewan hutan seperti Owa Jawa, Monyet, Babi Hutan dan Landak juga gemar memakannya.
Apabila musim berbuah tiba, masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan hutan akan berbondong-bondong masuk ke dalam hutan untuk mengambil bijinya, baik yang sudah jatuh di lantai hutan maupun yang masih ada di pohon. Mereka tidak tanggung-tanggung dalam memungut biji Saninten dan Tungurut yang ada di dalam hutan. Tak jarang mereka mengambil sampai habis biji yang ada di dalam hutan khusus untuk dikonsumsi secara pribadi dikarenakan rasanya yang enak dan hanya dapat dinikmati pada saat waktu tertentu saja, dikarenakan kedua jenis pohon tersebut tidak sering berbuah.
Eksploitasi biji secara berlebihan mengakibatkan terganggunya siklus perkembangbiakan alami Saninten dan Tungurut secara generatif. Biji yang seharusnya menjadi agen perkembangbiakan selalu habis diambil oleh manusia dan hewan liar sehingga kedua spesies tumbuhan tersebut memiliki kesempatan yang kecil untuk dapat beregenerasi.
Berbeda dengan kayunya, menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 35 Tahun 2007, buah Saninten termasuk salah satu jenis komoditas hasil hutan bukan kayu yang diperkenankan untuk pemanfaatannya. Dengan kata lain, biji Saninten dan Tungurut merupakan jenis komoditas hasil hutan bukan kayu yang dibolehkan untuk dimanfaatkan.
Meninjau permasalahan yang sedang dihadapi saat ini adalah kurang tersedianya biji sebagai agen regenerasi alami, hal tersebut tentunya dapat menjadi bahan pertimbangan khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar meninjau kembali peraturan yang telah disahkan khususnya pada poin buah dari pohon Saninten dan Tungurut yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan agar lebih diperketat lagi.
Saat ini eksistensi dari kedua spesies tersebut sudah mulai redup di mata masyarakat lokal yang tinggal di sekitaran kawasan hutan, misalnya di desa-desa penyangga Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Rata-rata generasi tua paham dan mengenal betul keberadaan Saninten dan Tungurut dikarenakan saat usia muda mereka masih sering mengonsumsi biji dan sering menemuinya di hutan, sedangkan pada generasi muda sudah jarang sekali yang mengenal dan paham akan keberadaan kedua spesies tersebut dikarenakan Saninten dan Tungurut sudah jarang berbuah sehingga pemanfaatannya dan keberadaannya di sekitar pemukiman sudah jarang, bahkan hampir tidak ada.
Masyarakat harus masuk hutan jika ingin menemui kedua spesies tersebut. Ditambah lagi, generasi muda saat ini sudah jarang yang keluar masuk hutan dan bermain di alam sekitar. Adanya perubahan perilaku sosial dimana perkembangan teknologi menyebabkan mereka lebih sering bermain gadget, sehingga jarang yang mau bermain di alam sekitar. Hal itulah yang mengakibatkan sebagian besar generasi muda kurang atau bahkan tidak mengenal sama sekali mengenai kedua spesies tersebut.
Keadaan tersebut diperparah dengan realita bahwa keberadaan hutan koridor, misalnya di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sebagai salah satu habitat asli Saninten dan Tungurut saat ini dijadikan ladang tumpangsari oleh masyarakat lokal. Hingga sekarang masyarakat belum bisa melepaskan lahan garapannya meskipun telah ada larangan dari pihak yang berwenang.
Pengelolaan taman nasional belum memberikan sanksi apapun bagi masyarakat yang menggunakan lahan garapan tetapi memberikan imbauan agar masyarakat mau menanami lahan garapannya dengan tumbuhan asli. Namun, spesies tumbuhan asli yang selalu digembar-gemborkan oleh pengelola kawasan kepada masyarakat adalah Rasamala (Altingia excelsa) dan Puspa (Schima wallichii), padahal kedua spesies tumbuhan tersebut masih sangat melimpah keberadaannya di alam, sedangkan Saninten dan Tungurut yang keberadaannya terancam punah malah tidak direkomendasikan.
Rasamala dan Puspa banyak disukai oleh masyarakat dikarenakan memiliki kayu yang bagus sehingga harga jualnya tinggi dan memiliki pertumbuhan yang relatif cepat daripada Saninten dan Tungurut sehingga masyarakat tidak perlu menunggu terlalu lama untuk dapat memanfaatkannya. Hal tersebut dapat menggerus eksistensi Saninten dan Tungurut untuk dilupakan.
Sudah banyak hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa Saninten dan Tungurut pada beberapa dekade silam banyak tumbuh di koridor hutan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Namun setelah dibukanya ladang baru, kedua spesies tersebut terancam keberadaannya dikarenakan dianggap memiliki pola regenerasi yang lama, serta tajuk yang melebar dirasa menyita area ladang, sehingga membuat kedua spesies tersebut ditebang.
Hal tersebut menandakan bahwa di era sekarang masyarakat tidak terlalu mempedulikan keberadaan Saninten dan Tungurut yang sudah terancam punah dikarenakan saat ini pemanfaatannya kurang bisa dirasakan. Masyarakat lokal masih berorientasi untuk membudidayakan spesies tumbuhan yang mereka rasa dapat memberikan manfaat secara ekonomis saja dan tidak terlalu peduli pada kelestarian spesies-spesies asli yang sebenarnya memberikan manfaat ekologis.
Padahal sebenarnya, secara umum, masyarakat lokal memiliki pengetahuan lokal mengenai pemanfaatan kedua species tersebut, yang saat ini sudah jarang ditemukan. Mereka pun menyadari bahwa kedua spesies merupakan tumbuhan yang dilindungi di mana kebijakan pengelola kawasan yang melarang masyarakat mengambil sumber daya hutan dalam bentuk kayu dan anakan pohon yang ada di dalam kawasan hutan.
Umumnya, pemahaman mereka hanya sebatas bahwa semua pohon yang terdapat di kawasan hutan memiliki arti bahwa pohon tersebut dilindungi. Hal tersebut dikarenakan pihak pengelola kawasan memberi penyadartahuan kepada masyarakat dengan memberi pemahaman mengenai konservasi berbasis kawasan di mana seluruh sumber daya hayati yang ada di dalam kawasan hutan dilarang untuk diambil.
Namun secara spesifik, sebagian besar dari masyarakat belum tahu bahwa kedua spesies tersebut merupakan jenis tumbuhan terancam kepunahan. Hingga saat ini masih minim adanya penyuluhan kepada masyarakat secara spesifik akan nama-nama spesies yang terancam punah dan dilindungi dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dari permasalahan mengenai perlindungan Saninten dan Tungurut di atas, tentunya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemangku kebijakan yang terkait untuk membenahi sistem perlindungan terhadap kedua spesies tersebut dan juga jenis-jenis tumbuhan langka lainnya yang ada di Indonesia. Beberapa program yang dapat dikuatkan di antaranya adalah dengan mengajak masyarakat lokal, khususnya kepada generasi muda, yang tinggal di sekitar kawasan hutan untuk bernostalgia atau mengingat kembali mengenai keberadaan Saninten dan Tungurut sebagai tanaman asli yang saat ini keberadaannya mulai terancam agar namanya tetap dikenal.
Pengelola kawasan sebaiknya juga mengadopsi agar kedua spesies tersebut ditanam pada lahan tumpangsari dengan memberi imbauan kepada masyarakat. Selain itu, juga diperlukan penyuluhan kepada masyarakat terkait dengan peraturan mengenai jenis-jenis spesies tumbuhan langka.
Alangkah baiknya pengelola kawasan memberikan penyadartahuan kepada masyarakat dengan memberi tahu jenis-jenis spesies yang dilindungi, urgensi serta sanksi yang diberlakukan. Kemudian hal yang tidak kalah penting yang harus digalakkan adalah dengan memberikan penyadartahuan kepada masyarakat agar terus melakukan perbanyakan tumbuhan langka dan terancam sebagai langkah strategis untuk melestarikannya.
Adanya kesadaran untuk terus melestarikan kekayaan hayati tentunya tidak lain adalah demi kelestarian kedua spesies tersebut dan juga jenis spesies tumbuhan langka dan terancam lainnya sebagai warisan untuk anak cucu kita.
(miq/miq)
tayang di : https://www.cnbcindonesia.com/opini/20230303134457-14-418632/benahi-sistem-perlindungan-tumbuhan-yang-terancam-punah